Dongeng Geologi Project : Menjadikan Ancaman sebagai Kawan

Oleh: Nike Ardilla K, Listiana Alifia N, Riando Elang D

Foto: Dokumentasi kegiatan Dongeng Geologi Project

Bencana geologi merupakan suatu peristiwa atau kejadian di alam yang berkaitan dengan siklus-siklus yang terjadi atau segala sesuatu yang disebabkan oleh faktor-faktor geologi (Agustin, 2016). Faktor-faktor geologi yang dimaksud antara lain litologi, geomorfologi, struktur geologi dan pola aliran sungai. Sebenarnya proses-proses geologi  yang menyebabkan bencana itu hanyalah proses alamiah yang biasa terjadi, misalkan saja bencana tanah longsor. Tanah longsor dapat terjadi karena lereng yang terjal, vegetasi berakar serabut dan daya ikat yang lemah antar tanah tersebut sehingga ketika ada pemicu berupa intensitas hujan yang tinggi pada akhirnya tanah tersebut jatuh. Proses jatuhnya tanah ini sebenarnya merupakan upaya penstabilan dari tanah itu sendiri. Ketika tidak ada manusia yang tinggal di bawah atau dekat dengan massa tanah yang jatuh itu maka tidak akan ada dampak yang ditimbulkan. Berbeda jika terdapat pemukiman dibawahnya maka akan menjadi suatu bencana yang sangat merugikan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bencana geologi itu terjadi ketika ada suatu proses geologi yang bersinggungan secara langsung dengan kehidupan manusia.

Macam-macam bencana geologi antara lain gunung meletus, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir bandang. Setiap bencana yang muncul akan menimbulkan kerugian yang cukup besar dari kerugian materiil hingga korban jiwa. Masih ingatkah dengan bencana Tsunami di Aceh tahun 2004? Menurut Kepala BNPB Sutopo Purwo Nugroho, bencana tsunami tersebut menyebabkan lebih dari 180.000 jiwa tewas dan hilang, serta kerugian materiil lebih dari Rp. 45 trilyun. Dari data tersebut, terlihat bahwa bencana geologi cukup memberi pengaruh besar terhadap kehidupan manusia dan menjadi ancaman serius bagi manusia. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan pengetahuan mengenai bencana agar segenap masyarakat dapat mengetahui cara mitigasi bencana yang tepat. Persinggungan yang terjadi antara bencana geologi dan manusia harus diarahkan untuk membangun relasi dan hubungan yang baik antara manusia dengan ancaman yang ada. Sehingga bukan hal yang mustahil untuk menjadikan ancaman sebagai kawan. Ancaman bukanlah hal yang sulit untuk dihindari dan bencana bukanlah hal yang mustahil untuk dikurangi resikonya. Namun semua itu diperlukan upaya pengurangan resiko bencana yang baik dan dengan kemasan yang menarik.

Dewasa ini pemerintah melalui badan-badan yang berbasis kebencanaan dan organisasi-organisasi berbasis masyarakat secara intens melakukan sosialisasi mitigasi bencana dengan harapan dapat menciptakan masyarakat yang tanggap bencana atau setidaknya sadar akan ancaman yang ada disekitarnya. Sosialisasi merupakan bentuk penyampaian yang sampai saat ini masih dianggap sebagai salah satu upaya yang efektif untuk mengurangi dampak bencana yang terjadi. Frekuensi pelaksanaan sosialisasi bukanlah jaminan terbentuknya masyarakat sadar bencana. Pertanyaannya adalah, sudahkah sosialisasi yang dianggap sebagai bentuk pengurangan mitigasi bencana ini berjalan dengan efektif? Sebut saja sosok fenomenal bernama Mbah Maridjan, abdi setia dari Gunung Merapi yang bersikukuh untuk bertahan menolak dievakuasi pada Erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Kediaman Mbah Maridjan yang hanya berjarak 4km dari puncak Merapi ini akhirnya tersapu oleh material awan panas dan merenggut nyawa Sang Abdi Setia Merapi, yang berjanji untuk selalu dekat dengan Merapi sampai akhir hayatnya. Dari fakta ini dapat diketahui bahwa sosialisasi akan berjalan efektif apabila mengkombinasikan antara pendekatan ilmiah dengan pendekatan spiritual. Apabila objek material yang ingin diselamatkan adalah manusianya, maka semua aspek yang melekat seperti budaya dan tradisi setempat harus dijadikan sebagai kekayaan informasi untuk mendukung pendekatan ilmiah yang dilakukan.

Kami menawarkan suatu sosialisasi mitigasi bencana yang kami kemas dengan mengkombinasikan unsur pendekatan ilmiah dan spiritual sehingga menarik yaitu Dongeng Geologi Project. Dongeng Geologi Project (DGP) merupakan suatu terobosan baru dalam sosialisasi yang dilakukan secara interaktif dimana target utama dari DGP ini yaitu anak-anak. Geologi sangat menyenangkan diajarkan apabila dihubungkan dengan alam dan bencana yang mengancam namun disajikan dalam alur cerita dongeng interaktif. Pada dasarnya anak-anak sangat suka untuk mendengarkan sebuah dongeng sehingga mereka akan tertarik apabila sebuah dongeng dikemas secara menarik dan penuh makna untuk mereka. Umur anak-anak juga sangat cocok untuk dididik dan diberi sugesti mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bencana sehingga terdapat antisipasi sejak dini. Menurut kami, anak-anak merupakan aspek paling penting dalam membentuk budaya sadar bencana, karena budaya sadar bencana harus dijadikan sebagai sebuah kebiasaan bukan sesuatu yang harus dihafalkan. Budaya sadar bencana harus dijadikan rutinitas dalam kehidupan, bukan hanya selingan yang sesekali saja diingat.

Berdasarkan pemaparan tersebut, kami yakin Dongeng Geologi Project (DGP) sangat solutif untuk ditawarkan sebagai sarana sosialisasi bencana yang efektif terhadap anak-anak. Hal ini dikarenakan DGP dikemas dengan penyampaian dongeng mengenai bencana dengan alur cerita yang menarik serta menggunakan properti pendukung seperti boneka tangan. Setelah pemaparan materi menggunakan file presentasi oleh presenter, selanjutnya terdapat games edukasi kebencanaan yang dapat dijadikan ice breaking dengan berbagai hadiah, games edukasi kebencanaan ini merupakan upaya untuk menanamkan budaya sadar bencana pada anak-anak, saat ini sudah tidak efektif apabila dilakukan dengan sosialisasi tanpa melibatkan anak-anak untuk berinteraksi. Anak-anak juga diajarkan untuk mendekatkan diri dengan berbagi rambu-rambu petunjuk simulasi jalur evakuasi apabila terjadi bencana. Sehingga penerapan sosialisasi bencana menggunakan Dongeng Geologi Project menjadi sarana cerdas dan tepat dalam menarik perhatian peserta sosialisasi. Selain itu, DGP memiliki kelebihan dimana materi kebencanaan yang disampaikan itu telah melalui penyederhanaan yang pastinya mudah dicerna oleh anak-anak, kemudian penggunaan properti dan adanya permainan akan membuat sosialisasi terasa menyenangkan dan dapat mudah diikuti.

Budaya sadar bencana dapat dikatakan berhasil apabila setiap pribadi mengetahui dan menerapkan upaya pengurangan resiko bencana dan evakuasi. Tentu saja hal ini perlu adanya sinergitas antara berbagai badan pemerintahan yang memiliki fungsi penyadaran ilmu kebencanaan di masyarakat dan menggandeng komunitas masyarakat sebagai agen transfer ilmu secara langsung kepada masyarakat. Prinsip pendekatan dengan kombinasi pendekatan spiritual dan keilmuan kami anggap merupakan pendekatan yang paling efektif. Kami merekomendasikan untuk mengarahkan prioritas penanaman budaya sadar bencana kepada anak-anak karena anak-anak lebih peka terhadap berbagai hal yang ada disekitarnya dan tentunya masih mudah menerima ilmu baru yang disampaikan dengan cara menyenangkan. Dongeng Geologi Project merupakan solusi untuk menjadikan ancaman sebagai kawan.

 

REFERENSI:

Yusra Agustin. 2016. Artikel Seri Pengetahuan Bencana: Bencana Geologi oleh BPBD Provinsi Sumatera Barat. http://www.sumbarprov.go.id/details/news/8753 diakses pada 23 September 2017.

Willy Pramudya. 2014. Hanya Tsunami 2004 yang Dinyatakan Bencana Nasional. http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/04/hanya-tsunami-2004-yang-dinyatakan-bencana-nasional diakses pada 23 September 2017.

 

 

PROVENANCE BATUAN SEDIMEN SILISIKLASTIK

Batuan sedimen silisiklastik merupakan batuan yang fragmen-fragmennya berasal dari batuan yang telah ada sebelumnya baik batuan beku, batuan sedimen, maupun batuan metamorf yang telah mengalami proses erosi, transportasi, sedimentasi dan lithifikasi. Contoh batuan sedimen silisiklastik adalah konglomerat, breksi, batupasir dan batulanau.

Tiap-tiap batuan sedimen silisiklastik tentunya memiliki komposisi partikel yang berbeda-beda. Informasi mengenai komposisi partikel sedimen biasanya berguna untuk menentukan mekanisme pembentukan batuan, lingkungan pengendapan, iklim saat batuan terbentuk dan juga untuk mengetahui provenance.

Provenance berasal dari bahasa Perancis yaitu “provenir” yang berarti “berasal dari”. Secara spesifik, provenance diartikan sebagai asal sumber suatu batuan / darimana saja sumber batuan tersebut berasal. Sementara itu, studi proverence merupakan studi untuk mengetahui sumber dari batuan sedimen. Kita tahu bahwa batuan sedimen merupakan kumpulan fragmen-fragmen dari batuan yang sudah ada sebelumnya, sumbernya bisa berasal dari berbagai macam batuan sehingga komposisi material sedimen tidak semuanya berasal dari batuan sumbernya, hal yang juga berpengaruh adalah iklim dan relief dari daerah sumbernya. Karenanya diperlukan studi provenance yang meliputi: sampling batuan (singkapan, cores, cutting pemboran), identifikasi komposisi partikel sedimen dan mineral-mineral yang dikandungnya beserta kelimpahannya, serta interpretasi daerah sumber yang menghasilkan batuan sedimen tersebut.

Studi provenance akan lebih mudah diterapkan dalam pengamatan sedimen silisiklastik yang memiliki ukuran butir besar seperti berangkal dan kerakal karena kenampakannya yang besar dan pengamatan dapat dilakukan dengan mata telanjang mengenai karakter fisiknya. Kemungkinan batuan sedimen merupakan hasil dari kikisan litologi batuan dasarnya semakin besar. Berbeda dengan sedimen silisiklastik yang memiliki ukuran butir halus seperti pasir dan lanau dimana sumbernya bisa berasal dari berbagai macam batuan (lebih dari 1 sumber). Studi provenance untuk batuan berukuran butir halus seperti batupasir biasanya dilakukan dengan cara pemisahan mineral berat dan mineral ringannya kemudian diidentifikasi masing-masing jenis mineral.

Untuk mengetahui provenance batuan sedimen berukuran butir halus, terdapat suatu metode petrografi yang umum digunakan. Metode petrografi menggunakan sayatan tipis sebagai objeknya. Pengamatan dilakukan dalam beberapa medan pandang dan pada masing-masing medan pandang dihitung kandungan partikelnya meliputi mineral-mineral seperti kuarsa dan feldspar, lithik batuan dan matriksnya. Setelah itu dilakukan normalisasi untuk partikel-partikel khusus seperti mineral kuarsa, mineral feldspar dan lithik. Ketiga komponen itu kemudian diplot pada diagram segitiga yang biasa dikenal sebagai diagram QFL (kuarsa, felspar, fragmen lithik). Di dalam segitiga ini ada beberapa “field” yang akan menunjukkan pengelompokkan setting tectonic batuan yang sedang diamati.

Untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai provenance, bisa dilakukan analisa morfologi butir juga seperti roundness dan sphericity. Untuk roundness, semakin rounded suatu butiran sedimen menunjukkan bahwa jarak transportasinya semakin jauh. Untuk sphericity, lebih ditentukan dari material asal butiran sedimen. Analisis detail arus purba dan analisis sedimentologi lainnya penting dilakukan untuk mengetahui efek transportasi juga. Transportasi di sistem terestrial akan menghasilkan batupasir yang memiliki ciri berbeda dengan batupasir pada sistem fluvial. Karena setiap sistem memiliki tipe iklim, curah hujan dan suhu yang berbeda-beda. Misalnya, sungai-sungai di iklim yang panas dan lembab seperti iklim tropis akan menjadi agen yang optimal untuk pelapukan kimiawi mineral-mineral yang tidak stabil seperti plagioklas dan ortoklas. Akibatnya, mineral-mineral ini akan habis saat mengalami proses erosi maupun abrasi selama transportasi, dan yang bisa bertahan hanyalah mineral stabil seperti kuarsa. Sehingga pada daerah iklim tropis jumlah mineral kuarsa akan lebih melimpah dibanding mineral plagioklas atau ortoklas.

Berikut ini merupakan diagram QFL yang diperkenalkan oleh Bill Dickinson, 1983:

dickinson

Secara umum, tipe daerah provenance dapat dibagi menjadi 4 yaitu (Dickinson, 1985 dalam Tucker, 1991):

  1. Stable craton

Tipe daerah provenance ini biasanya memiliki setting tectonic berupa daerah continental interior atau passive margin. Ciri-ciri dari komposisi pasir yang dihasilkan pada tipe ini yaitu berupa Quartzose sand (Qt-rich) dengan rasio Qm/Qp yang tinggi dan Fk/Fp yang tinggi pula.

  1. Basement uplift

Tipe daerah provenance ini biasanya memiliki setting tectonic berupa Rift shoulder atau transform rupture. Ciri-ciri komposisi pasir yang dihasilkan pada daerah ini yaitu Quartzofeldspathic (Qm-F) sands dengan Lt yang rendah dan rasio Qm/F & Fk/Fp yang hampir sama.

  1. Magmatic arc

Tipe daerah provenance ini biasanya memiliki setting tectonic berupa Island arc atau Continental arc. Ciri-ciri komposisi pasir yang dihasilkan pada daerah ini yaitu Feldspatholithic (F-L) volcaniclastic sands dengan rasio P/K & Lv/Ls yang tinggi hingga Quartzofeldspathic (Qm-F)

  1. Recycled orogen

Tipe daerah provenance ini biasanya berada pada setting tectonic berupa kompleks subduksi atau fold-thrust belt. Karakteristik pasir yang dihasilkan adalah Quartzolithic (Qt-Lt) sands dengan F & Lv yang rendah.

 

CONTOH DESKRIPSI BATUAN SEDIMEN SILISIKLASTIK

ppl-view

XPL view.jpg

Sumber gambar:https://wwwf.imperial.ac.uk/earthscienceandengineering/rocklibrary/viewrecord.php?cID=5494&showimages=1

 

Deskripsi :

Batuan ini memiliki ukuran butir medium, sortasi buruk. Greywacke didominasi oleh fragmen berupa kuarsa monokristalin (60% dari butiran klastik), muskovit (30%) dan collophane (10%), dengan klorit dan ilmenit dalam jumlah minor. Sedangkan untuk matriksnya tersusun oleh mineral kalsit, collophane dan mineral lempung. Kuarsa hadir sebagai angular – sub angular dan butiran monokristalinnya memiliki ukuran mencapai 0.6 mm. Butiran muskovit memiliki ukuran panjang 1 mm dan beberapa mengalami pecahan yang insitu. Mika memiliki struktur yang lemah dan orientasinya kemungkinan menunjukkan perlapisan / bedding. Collophane memiliki permukaan bentuk butir yang rounded, memiliki ukuran hingga 3 mm. Ilmenit memiliki permukaan bentuk butir yang sub-rounded dengan ukuran butir 0.1 mm. Sementara itu, matriks didominasi oleh semen partikel kalsit, collophane dan mineral lempung.

Untuk genesanya, sortasi yang buruk pada greywacke yang kaya akan mika menunjukkan bahwa batuan ini merupakan hasil dari endapan turbidit. Sedikitnya material lithik dan banyaknya mineral kuarsa monokristalin yang hadir dapat menginterpretasikan bahwa batuan sumber (provenance)-nya berasal dari batuan beku. Sementara collophane mungkin berasal dari material skeletal vertebrata.